Mitos "Melepaskan Binatang Peliharaan Mampu Menyembuhkan Penyakit"

 

Melepaskan Binatang Peliharaan Mampu Menyembuhkan Penyakit



Sumber: https://www.google.com/amp/s/www.ingoningon.com/petstory/amp/1949733986/burung-perkutut-bersuara-di-malam-hari-belum-tentu-mistik-bisa-jadi-ini-penyebabnya

Kulon Progo merupakan salah satu kabupaten yang terletak di Daerah Istimewa Yogyakarta. Di sebelah timur Kabupaten Kulon Progo berbatasan dengan Kabupaten Sleman dan Bantul, di sebelah selatan berbatasan dengan Samudra Hindia, di sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Purworejo, dan di sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Magelang. Luas wilayah kabupaten Kulon Progo berkisar 586 km². Kabupaten Kulon Progo berdiri pada tanggal 15 Oktober 1951, sehingga pada tanggal tersebut selalu diperingati sebagai hari jadi Kabupaten Kulon Progo. Saat adanya peringatan hari jadi tersebut, biasanya dilaksanakan upacara dan penampilan kesenian daerah sebagai sarana melestarikan kebudayaan setempat. Nama Kulon Progo sendiri memiliki arti sebelah barat Sungai Progo (kata kulon dalam Bahasa Jawa berarti barat). Sungai Progo ialah perbatasan sebelah timur dari wilayah Kabupaten Kulon Progo dengan Kabupaten Sleman.

Kabupaten Kulon Progo memiliki 12 kapanewon yang terdiri dari Temon, Wates, Panjatan, Lendah, Galur, Sentolo, Pengasih, Kalibawang, Samigaluh, Girimulyo, Kokap, dan Nanggulan. Ibu kota Kulon Progo adalah Kapanewon Wates. Kapanewon Wates merupakan kapanewon yang paling padat penduduk jika dibandingkan kapanewon lainnya. Kepadatan penduduk yang ada di Kapanewon Wates tentu mengakibatkan munculnya berbagai keberagaman budaya di tengah masyarakatnya. Banyak sekali mitos dan legenda nenek moyang daerah setempat yang belum bahkan sama sekali tidak diketahui oleh masyarakat umum. Mitos merupakan tradisi lisan yang berkembang di tengah masyarakat dan

berkaitan erat dengan narasi nenek moyang terdahulu yang tinggal di wilayah tersebut. Salah satu kalurahan yang berada di wilayah Kapanewon Wates yaitu Granti. Di Granti, masyarakat terdahulu mempercayai bahwa jika ada orang yang sedang menderita penyakit berat maka ia harus melepaskan binatang peliharaan kesayangannya ke alam bebas. Hal tersebut bertujuan untuk meringankan serta melepaskan penyakit sang pemilik binatang. Jika dikaitkan dengan akal sehat manusia, sebenarnya hal tersebut semata bertujuan untuk membebaskan binatang agar dapat hidup dengan semestinya di alam bebas serta mampu mencari makan di alam terbuka, sebab pemilik sedang sakit dan sudah pasti tidak mampu merawat dan memberinya makan. Namun, orang terdahulu percaya bahwa dengan cara melepaskan binatang peliharaan mampu menyembuhkan penyakit sang pemilik. Keyakinan tersebut masih melekat dan dipercayai oleh orang terdahulu. Pasalnya salah satu warga Granti, Kapanewon Wates yang bernama Bapak Sadiran telah membuktikan kebenaran hal itu.

Bapak Sadiran merupakan ketua RT di salah satu dusun yang ada di Kalurahan Granti. Beliau  merupakan sesepuh dan orang terpandang di dusunnya. Kini usia beliau berkisar 75 tahun. Bapak Sadiran menderita penyakit komplikasi antara lain penyakit gula dan paru-paru basah sejak 4 bulan terakhir. Bapak Sadiran dirawat di rumah sakit Pura Raharja Medika yang selama 3 hari. Kondisinya semakin hari semakin melemah karena salah satunya faktor usia. Penyakit komplikasi yang dideritanya diusia yang sudah senja tersebut beliau lalui dengan senantiasa berdoa kepada Tuhan disertai ikhtiar semampunya. Beliau sempat berpesan kepada anaknya untuk melepaskan binatang kesayangannya di rumah berupa burung perkutut agar penyakitnya lekas sembuh. Hal itu dilakukan sebagai salah satu ikhtiar yang bisa beliau lakukan selain meminta pertolongan kepada Tuhan. Setelah anaknya melakukan apa yang diminta oleh Bapak Sadiran ternyata benar, semakin hari kondisinya semakin membaik.

Sampai saat ini belum terungkap apa sebenarnya relasi dari melepaskan binatang peliharaan dengan sembuhnya penyakit sang pemilik binatang, terutama memelihara burung perkutut. Konon, burung perkutut merupakan burung jelmaan

ular. Kebenaran akan pernyataan tersebut tentu dipertanyakan dan diragukan oleh masyarakat masa kini. Sebab secara logika burung perkutut dan ular merupakan dua binatang yang berbeda. Namun, kalau secara mitos hal itu bisa saja terjadi. Melihat dari corak burung perkutut yang memiliki kemiripan dengan sisik ular. Kemungkinan warna dan corak lurik dari burung perkutut merupakan suatu tameng baginya untuk terhindar dari ancaman. Burung perkutut seolah berkamuflase menjadi ular saat kondisi tertentu. Jadi, bisa saja burung perkutut berkamuflase seperti ular dengan tujuan mengelabui bahaya, musuh, ataupun ancaman. Oleh sebab itu, banyak yang beranggapan bahwa burung perkutut ialah jelmaan ular atau ular jadi-jadian.

Mayoritas masyarakat Jawa zaman dahulu juga memiliki ilmu tenaga dalam sebagai kekuatan untuk tubuhnya. Apalagi seseorang yang memiliki jabatan tinggi ataupun usaha besar, ilmu tenaga dalam tentu melekat dan tidak asing lagi dalam dirinya. Kekuatan tersebut bertujuan sebagai penangkal dari segala kejahatan dan marahabaya. Begitu pun dengan Bapak Sadiran yang merupakan sosok ketua RT dan orang terkemuka di dusunnya. Kata sang anak belum lama ini Bapak Sadiran bertemu dengan orang pintar yang merupakan temannya untuk melepaskan ilmu tenaga dalam yang ada di tubuhnya karena beliau merasa umurnya yang sudah senja. Bapak Sadiran berpikir bahwa dirinya tidak lagi membutuhkan kekuatan tenaga dalam seperti ketika beliau muda dahulu. Dan benar saja tidak lama kemudian setelah ilmu tenaga dalamnya berhasil dilepaskan dari tubuhnya, kondisi tubuh beliau pun menjadi melemah dan penyakit komplikasinya kambuh secara tiba-tiba. Hal itu dipercaya sebagai penyebab awal sakit gula dan paru-paru basah yang diderita Bapak Sadiran kambuh kembali. Memiliki kekuatan tenaga dalam juga masih menjadi kepercayaan erat bagi masyarakat Jawa terdahulu. Hampir seluruh masyarakat jaman dahulu memiliki kekuatan tersebut sebagai penangkal bahaya dan kebugaran tubuh. Kisah yang dialami Bapak Sadiran sampai kini masih tumbuh dalam tradisi lisan masyarakat setempat.

Narasumber: Ibu Srimarni, S.Pd (berusia 60 tahun) adik ipar dari Bapak Sadiran.




Daftar Pustaka

Rakasiwi, Gilang Bayu. 2022. Kabupaten Kulon Progo. Diakses dari kulonprogokab.go.id pada 19 Agustus 2023.

 


Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ulasan Cerpen "Anjing-anjing Menyerbu Kuburan" Karya Kuntowijoyo

Teks Eksposisi "Penetapan Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Resmi UNESCO"

Resensi Film "Budi Pekerti"