Esai Memaknai Puisi "Setelah Pergelaran” Karya Latief S. Nugraha
Mengingatkan Manusia pada Panggung Sandiwaranya di Dunia dalam Puisi “Setelah Pergelaran” Karya Latief S. Nugraha
Hakikat
manusia hidup di dunia bukanlah tanpa sebab dan alasan. Tentu tidaklah sia-sia
Tuhan menciptakan manusia-manusia untuk menyembah-Nya, bukan untuk sekedar
hidup yang penting hidup, dapat bernapas, makan, dan tidur. Hidup di dunia
bukan tanpa tujuan. Manusia yang hidup tanpa tujuan merupakan manusia yang
tidak memiliki akal. Lalu apa perbedaan manusia dengan hewan? Sama-sama hidup,
mampu mencari makan, namun tak punya akal. Latief mengibaratkan kehidupan yang
dijalani manusia sama dengan kehidupan yang dijalani para pemain di atas
panggung sandiwara. Sama-sama bermain peran dan mengikuti alur dari sutradara.
Bedanya jika pemain yang berada di panggung sandiwara telah paten alurnya, sedang pemain sandiwara
layaknya manusia fana tidak. Mereka terkadang melunjak, memainkan perannya
sendiri dan sering keluar dari garis ketentuan alur Yang Kuasa. Permainan macam
apa ini? Sama-sama bermain peran, namun yang satunya curang dalam permainan.
Tidak mengikuti skenario alur permainan Tuhan dan sewenang-wenang membuat alur
permainannya sendiri. Mengatur blockingnya
sendiri, membuat naskahnya sendiri, mengatur lighting sendiri, semuanya dirangkap sendiri. Merasa hebat
melakukan segala halnya seorang diri. Manusia lupa, bahwa sejatinya mereka
adalah makhluk sosial. Pun jika ada yang merasa mampu melakukan segala
sesuatunya sendiri itu adalah pilihan hidup.
Menjadi
seorang manusia memiliki tanggung jawab pada 3 hal, pada dirinya sendiri, orang
lain, dan pada Tuhannya. Menjadi manusia baik akan menuntunnya pada kebaikan
yang berbalas pada dirinya sendiri. Disukai banyak orang, hidupnya tenteram,
dan balasannya pahala dari Tuhan. Namun bagaimana definisi manusia baik yang sesungguhnya?
Diukur dari segi apa untuk memenuhi kriteria “baik”? Melakukan segala sesuatu
yang dirasa tidak melanggar norma dan agama dalam kehidupan tentu akan membawa
manusia pada kedamaian. Tentu tidak mudah dalam melakukannya. Menjadi baik itu
melelahkan. Namun lebih baik lelah dalam melakukan kebaikan, karena lelah dapat
hilang sedangkan kebaikan akan kekal. Kebaikan akan abadi di balik layar panggung
sandiwara yang telah usai. Panggung sandiwara yang dilakonkan oleh para manusia
tentu suatu saat akan berakhir, layaknya panggung sandiwara dalam pertunjukkan.
Seperti dalam bait pertama dan kedua Latief dalam puisinya yang berjudul
“Setelah Pergelaran” yang berbunyi:
Tirai
turun, pergelaran telah lengkap.
Kemudian
senyap
disekap
hening sediakala.
Tak
ada apa-apa
panggung
suwung semata
Dalam
kedua bait tersebut menjelaskan bahwa kehidupan di atas panggung sandiwara yang
dilakukan pemain peran juga memiliki ujung atau akhir. Tidak ada sandiwara yang
tidak memiliki ujung. Semua akan selesai pada waktu yang telah ditentukan.
“Tirai turun, pergelaran telah lengkap”, hal tersebut menunjukkan bahwa waktu
untuk pemain peran telah habis dan permainan perannya telah selesai dilakukan.
Pentas pertunjukkan telah selesai, pesta peran di atas panggung telah usai.
Semua skenario alur telah dijalankan oleh pemain peran, terlepas dari “baik”
atau terdapat beberapa kesalahannya yang dilakukan ketika di atas panggung.
Penilaian baik tentu kompleks. Pentas yang baik adalah pentas yang selesai.
Pentas semenarik apapun skenarionya jika tanpa ujung bukanlah pentas yang baik.
Berakhirnya babak dalam pertunjukkan yang ditandai dengan black out akan menjadi penanda bahwa babak permainan yang
dilakukannya telah usai. “Kemudian senyap, disekap hening sediakala”,
menggambarkan bahwa berakhirnya permainan peran pemain di atas panggung
pertunjukkan ataupun permainan peran manusia di atas dunia akan hening seperti
semula. Dulu saat manusia lahir, manusia lain menyambutnya dengan gembira.
Mereka bersorak ria karena kelahiran anak manusia, namun ketika manusia telah
tiada maka manusia lain pun akan terdiam, iba, sedih, dan turut berduka.
Segalanya hening kembali seperti awal semula sebelum manusia lahir di dunia.
“Tak ada apa-apa, panggung suwung semata”, dulu sebelum adanya manusia di
dunia, bumi begitu sepi, ada kehidupan binatang purba namun belum ada kehidupan
manusia. Diibaratkan panggung sandiwara yang hanya terdapat hiasan properti dan
background di atas panggung tanpa
adanya pemain peran.
Panggung
sandiwara tanpa adanya pemain peran tidak akan hidup. Pergelaran akan tidak
akan berlangsung tanpa adanya pemain yang bersandiwara di atasnya. Dalam kehidupan
manusia selalu memainkan peran setiap harinya. Ketika bangun tidur,
beraktivitas, hinggu tidur kembali, tidak mungkin manusia berakal tidak bermain
peran dalam kehidupannya. Kehidupan akan rusak jika manusia melakukan segala
sesuatunya berdasarkan skenario yang dibuatnya sendiri tanpa mempedulikan
skenario yang telah Tuhan berikan. Hidup hanya perlu memainkan peran yang telah
Tuhan buatkan skenarionya dengan semaksimal mungkin. Bermain peran,
bersandiwara hingga tutup usia. Seperti pada puisi bait ketiga yang berbunyi:
Benar,
sandiwara tak pernah kekal
juga
tak pernah usai
Menghadirkan
adegan demi adegan
dalam
satu babak.
Latief
ingin menyampaikan bahwa dalam panggung pagelaran di dunia, sandiwara yang
dilakukan manusia tidak pernah kekal, juga tidak pernah usai. Manusia akan
terus memainkan perannya sesuai bentuk pribadi dan karakternya di atas dunia
ini. Semua manusia memiliki caranya masing-masing dalam bermain peran. Wajar,
itu adalah pilihan. Latief menggunakan majas repetisi untuk mempertegas makna
dalam puisi yang disampaikannya. Sandiwara manusia pasti akan ada ujungnya
yaitu kematian. Sandiwara manusia tidak akan pernah berhenti sebelum manusia
itu menemui ajalnya. Manusia akan terus menjadi tokoh lakon dalam
pertunjukannya di atas dunia dalam seumur hidup.
Peran
yang dilakukan manusia di atas panggung kehidupan dunia menuntutnya untuk
melakukan segala hal yang mampu memenuhi kebutuhannya. Hidup di dunia tentu
punya kebutuhan yang harus dipenuhi. Berinteraksi kepada manusia lain ialah
salah satu ciri manusia. Dalam berinteraksi pun manusia tetap harus
bersandiwara, tidak boleh lepas dari permainan sandiwara yang dimainkannya. Hal
tersebut tergantung ketentuan peran yang akan dimainkannya, apakah peran baik
atau buruk. Manusia baik akan memiliki teman atau kerabat yang baik pula. Sebab
semestinya segala hal yang kita tanam akan kita tuai. Berinteraksi kepada
manusia baik akan saling menguntungkan dan menyatukan antarsesama. Namun,
berinteraksi dengan manusia buruk tentunya akan membawa dampak buruk juga.
Kembali lagi, itu adalah pilihan. Dari sekian milyaran manusia di dunia kita
bebas menentukan akan berinteraksi atau berteman kepada siapakah kita. Orang
baik biasanya akan mendapatkan teman baik, karena itu adalah cerminan dirinya,
namun perlu dipertegas kembali, itu adalah biasanya. Tidak menuntut kemungkinan
bahwa berinteraksi atau berteman dengan orang yang buruk juga akan membawa kita
pada kehancuran. Panggung sandiwara manusia biasanya alurnya dibelok-belokkan
sendiri oleh pemainnya. Seperti pada bait keempat puisi yang berbunyi:
Seperti
jalan-jalan kota,
memisahkan
atau menghubungkan;
menjebak
tak tertebak
Latief mengibaratkan pentas pertunjukkan layaknya
“seperti jalan-jalan kota”, di dalamnya terdapat majas simile. Latief
membandingkan jalan kota secara tersirat dengan alur dari pentas pergelaran.
Jalan-jalan kota merupakan jalan yang padat dan ramai dilalui kendaraan berlalu
lalang. Di sekeliling kota juga terdapat gedung-gedung tinggi, gedung pencakar
langit berjajar rapi. Ramai dan padatnya jalan kota diibaratkan seperti
layaknya alur pada pergelaran. Dalam pergelaran jarang ditemui yang menggunakan
alur sederhana, biasanya dalam pergelaran, apalagi dengan penulis naskah dan
sutradara tersohor tentu memiliki alur yang kompleks, rumit, dan padat. Alurnya
dapat memisahkan dan menjadi penyekat antara 1 babak dengan babak yang lainnya.
Bahkan alurnya dapat menghubungkan antara babak yang 1 dengan yang lainnya
menjadi 1 kesatuan cerita utuh. Alur yang diciptakan juga biasanya tidak mudah
tertebak. Terkadang penonton tidak menduga bahwa ending cerita dapat terjadi sedemikian rupa. Namun dengan kemahiran
penulis naskah dan sutradara dalam mengaturnya dapat membuat pergelaran semakin
hidup dan menarik. Begitu pula dengan alur yang Tuhan ciptakan dalam kehidupan
manusia. Manusia bisa membuat suatu rencana dengan sangat matang untuk
mengarungi beberapa babak yang akan ia tempuh di atas panggung sandiwara dunia,
namun Tuhan yang berkehendak untuk memutuskan bagaimana kelanjutan alurnya. Hal
itu tentunya menyadarkan manusia bahwa segala sesuatu yang terjadi dalam
hidupnya atas kuasa dan kehendak-Nya. Manusia tinggal menjalani dan mensyukuri
atas segala sesuatunya.
Bait
terakhir, Latief mempertegas maksud yang ingin disampaikan dalam puisinya.
Terdapat repetisi kata “Sekali lagi, pergelaran telah lengkap” yang menjelaskan
bahwa panggung sandiwara yang dilakukan manusia saat tutup usia telah selesai.
Perannya telah dimainkan dalam kehidupan di dunia. Puisinya berbunyi:
Sekali
lagi, pergelaran telah lengkap
Tapi
selalu ada yang luput dalam tafsir
lupa
untuk dicatat.
Hal
tersebut dapat dimaknai bahwa panggung sandiwara yang dilakukan manusia akan
berakhir dan pasti berakhir pada saatnya. Manusia mengumpulkan bekal berupa
pahala untuk di kehidupan selanjutnya. Kehidupan abadi setelah kehidupan di
atas pergelaran sandiwara dunia. Manusia yang beruntung saat melakukan perannya
di dunia dengan mengumpulkan banyak bekal maka dirinya tidak akan merasa gusar
ketika pementasannya di dunia telah selesai. Dirinya telah berbekal cukup untuk
melanjutkan kehidupan di babak selanjutnya (akhirat).
terima kasih tulisannya nisa, bisa menjadi pengingat diri
BalasHapusTulisannya keren sekalii kak
BalasHapus