Cerpen "483"
483
-Nisa-
“Gleek...Gleek...Gleek.” Beberapa teguk air bening
berhasil lolos membasahi tenggorokan Sherlyn. Secangkir air ditemani beberapa
jumput keping biskuit bulat di toplesnya yang berwarna semburat ungu salem.
“Kress,” bunyi menggema di atap
langit kamar itu timbul dari patahan biskuit bulat yang berada di antara
penyatuan gigi atas dan bawahnya. Gulatan lidah dan liur yang menari-nari
hendak menelan biskuit lezat itu dan mendorongnya masuk ke dalam kerongkongan.
“Krrkk...Kress...Krrkkk...Kress,” untuk suapan selanjutnya beberapa lembar
keripik yang di bagian label kemasannya tertulis “Keripik Pisang Segedong”.
Suasana hening, sunyi senyap bak
di tengah puncak gunung berkabut menyelimuti dinginnya malam itu. Gelengan
benda bulat bergerigi tumpul mengeluarkan hembusan angin tipis-tipis menambah kesan
dingin. Dingin, sedingin suasana hatinya ketika mengingat dirinya hidup
sebatang kara di perantauan. Hidup dalam sebuah kamar kos di tengah kota yang
tak begitu jauh letaknya dari kampus. Hari pertama tinggal di kos, Sherlyn
sadar hidup sendiri di tengah lautan manusia
bukanlah hal yang mudah. Ia dituntut untuk serba bisa mengerjakan segala hal
seorang diri. Orang-orang menuntutnya mampu melakukan semuanya sekaligus tanpa
memikirkan apakah Sherlyn baik-baik saja?
Sempat terlintas di benaknya. Apa aku bisa hidup sendiri?
Bisakah aku hidup tanpa sosok papa dan mama? Aku yang kalau makan saja selalu
disiapkan. Makan nasi dan lauk pauk selalu siap dihidangkan. Mencuci baju? Ah,
aku pun tak pernah melakukannya, hal yang melelahkan. Mencuci piring? Huftt,
sungguh merepotkan. Tenagaku hanya layak untuk menyapu dan membereskan kamar
tidurku sendiri, di luar itu aku tidak bisa. Mungkin lebih tepatnya aku tidak
terbiasa. Manja, kata yang terlintas jika orang-orang mengetahui tabiat
keseharianku, ya memang. Tidak banyak hal yang bisa kulakukan untuk menjadi
sosok anak yang baik di mata mama dan papa. Mama dan papa pun tidak pernah
menuntut aku untuk melakukan semua hal yang kusebutkan satu persatu tadi. Mereka
hanya memintaku untuk belajar, belajar, dan belajar.
7
Agustus 2016, ketika Sherlyn meninggalkan papa, mama, dan seorang adik
perempuan mungil yang masih berusia 4 tahun kala itu. Sherlyn lahir di tengah
keluarga hangat yang jauh dari hura-hara pertikaian. Waktu senggang biasa ia
habiskan bersendau gurau hingga bercerita hal kecil sebagai pemanis saat
bersama mama dan papanya. Sherlyn tak pernah mengenal kesepian di rumahnya
sendiri. Namun kini kondisinya berbeda, kesepian di kamar yang berukuran tidak
lebih dari 4x4m itu tak dapat dielakkan. Kehangatan yang diberikan teman 1 atap
kos pun tidaklah setimpal jika dibandingkan dengan kehangatan yang diberikan oleh
mama dan papanya.
***
“Pa,
Ma, Sherlyn pamit dulu. Doakan Sherlyn berhasil, doakan Sherlyn jadi anak
pintar di sana. Mama sama Papa sehat-sehat ya di sini,” seru Sherlyn sembari
bersalaman kepada kedua orang tuanya.
“Iya,
Nak. Tak perlu merisaukan kami. Jaga dirimu baik-baik, jangan lupa sholat lima
waktu di sana. Kalau ada apa-apa langsung telpon saja. Ingat kata-kata papa
sama mamamu ini,” ucap papa tanda merestui dan berusaha tegar melihat anak
gadisnya akan pergi meninggalkan rumah demi kuliahnya.
“Sherlyn
hati-hati ya di sana, makan tiga kali sehari jangan nunggu laper baru makan, banyakin
baca Quran, belajar yang rajin, jangan sering main malem, pikirannya di yem-yem sendiri, kesehatannya dijaga. Mama
sama papa cuma bisa doain kamu dari sini. Hati-hati ya sayang hiks, hiks, hiks.”
Isak mama menahan air yang hampir meledak di ujung kelopak matanya dan tak lama
kemudian terurai di pipinya. Namun tak sampai jatuh, buru-buru ia usap
menggunakan punggung tangan kanannya.
Sembari
merapikan barang, bawaan Sherlyn pun siap melajukan motor miliknya yang ia bawa
mengarungi sepanjang jalan. Motor yang ia gunakan sebagai teman setianya ketika
hendak kemanapun tempat yang ia tuju. Ramainya suasana jalan seperti ramainya
pikiran Sherlyn saat itu. Suara truk, mobil gandeng, laju mobil, motor, peluit
tukang parkir, dan ricuhnya kondisi kala itu menemani Sherlyn dalam perjalanan.
Motornya terus melaju melewati lorong pintu yang saling berhadapan di tepian
jalan.
***
Di
balik dinding kos yang berwarna hijau daun, hiasan replika pohon yang menempel
di atasnya, tiga lembar hiasan dinding papan berlukiskan dedaunan segar, dan sebuah
jam dinding bulat berlukiskan tumbuhan hijau yang mampu menginterpretasikan
asri dan sejuknya pemandangan di kamar tersebut. Di ujung kamarnya terdapat sebuah
lemari kayu berukuran 150x45cm dan rak kecil yang melengkapi nuansa kamarnya.
Semuanya tertata rapi, tidak seperti isi kepala Sherlyn saat itu. Sherlyn hanya
duduk termangu sembari menatap layar laptop yang menyala di depannya.
Rentetetan ribuan huruf dan tulisan sedang berada di hadapannya. Riuh suara
kamar sebelah membuatnya otaknya buyar,
tidak fokus, dan pikirannya kemana-mana. Kamar kos No.3 miliknya kala itu
sedang sepi berbanding terbalik dengan kamar kos teman di seberang kamarnya.
Tepat di seberang kamar kos Sherlyn menunjukkan No. 6. Pemilik kamar kos
tersebut, tidak lain ialah Yumna. Yumna merupakan salah satu teman dekat
Sherlyn ketika di kos. Bahkan ia satu-satunya anak kos yang seumuran dengan
Sherlyn. Mereka sama-sama baru menginjak semester 1 ketika menempati kos
tersebut. Mereka kuliah di 1 Universitas yang sama, bedanya kalau Sherlyn
berada di Fakultas Ilmu Budaya dan Yumna berada di Fakultas Ilmu Sosial dan
Politik.
“Gimana
punyamu lolos ngga?”
“Hah?
Udah keluar Ay hasilnya?”
“Iya,
panik banget Ay. Tapi kalo emang nggak lolos yaudah sih, besok tinggal ngulang
lagi bareng adik tingkat tahun depan.”
“Aku
juga nggak berharap lebih sih, soalnya kemarin emang nggak niat akunya pas
ngerjain. Kek berasa ngang ngong gitu, apalagi pas listening.”
Bincang-bincang
kecil tersebut berasal dari kamar No.06 yang kita ketahui bahwa pemilik kamar
itu ialah Yumna, tentunya itu percakapan dari Yumna bersama teman-temannya. Percakapan kecil tersebut tak sengaja terdengar oleh
kedua daun telinga Sherlyn. Mendengar kata listening
Sherlyn curiga, apa yang sedang mereka bahas? Mengapa mereka membahas soal itu?
Ribuan tanda tanya menggerogoti otak Sherlyn. Sherlyn pun menempelkan salah
satu daun telinganya ke tembok yang
berwarna hijau daun tersebut. Telinganya berusaha keras untuk menangkap lebih
dalam apa yang sedang dibicarakan oleh Yumna bersama teman-temannya di kamar.
Sherlyn ingin mengetahui pembicaraan tersebut karena ingin tahu apa yang sedang
mereka bicarakan, walaupun sebenarnya Sherlyn tidak berhak untuk itu. Namun
hanya sekedar ikut mendengarkan dari balik tembok tipis ini, siapa yang akan
melarang? Toh tidak akan ada yang tahu jika Sherlyn sedang berusaha menguping
di dalam kamar kosnya sendiri.
“AAAAA
GUA LOLOS AYYY. WUAHAHAHAHAH.”
“Ih
mana Ay? Beneran?”
“Liat-liat.
Ahhh gila, keren banget Ay.”
"AY
GUE JUGA LOLOS, Nggak nyangka sumpah, padahal kemarin soalnya di luar prediksi
BMKG.”
“Syukuran
ngga sih abis ini? Hahaha.”
Tawa
renyah menghiasi kamar No. 06 itu. Sherlyn yang ikut mendengarkan suara
teriakan keras dan tawa yang bisa dibilang brutal
itu langsung melototkan kedua bola matanya hingga rasanya hampir jatuh ke
lantai yang tak beralas. Kepalanya berusaha untuk menyuruh otaknya bekerja
mengingat-ingat jika hari ini hari apa?
“Shit, hari ini pengumuman toefl,” sontak umpat Sherlyn dalam hati.
Sherlyn
lekas menghampiri kembali laptopnya yang telah ditinggalkannya kira-kira hampir
1 jam yang lalu hingga dibiarkan dalam mode sleep.
Ditekannya tombol spasi hitam berukuran paling panjang, bahkan terpanjang
diantara tombol-tombol lainnya di keyboard
untuk menghidupkan layar laptopnya. Segera ia membuka website menuju ke pengumuman toefl
untuk mengetahui apakah dirinya lolos atau tidak. Saat proses membuka website mulutnya hanya mampu
berkomat-kamit melafalkan doa kepada Tuhan. Sherlyn berharap mampu lolos toefl tahun ini. Keringatnya hampir
keluar dari pelipis dahinya, jantungnya pun yang awalnya berdetak normal
lama-kelamaan berdegup semakin kencang seperti baru saja melihat sosok tak
kasat mata menggunakan mata telanjangnya. Pengumuman toefl telah dinantikannya jauh hari. Ia begitu optimis sebab saat
mengerjakan ia tak merasakan kesulitan yang berarti, bagaimana tidak? Soalnya
hanyalah pilihan ganda, dengan lancar ia klak-klik jawaban yang dirasanya
paling benar. Sherlyn juga merasa tidak terlalu bodoh dalam mata pelajaran
ataupun mata kuliah Bahasa Inggris. Tak lama kemudian websitenya pun terbuka.
483
“Sialan,”
hanya itu kata yang mampu keluar dari mulutnya.
Angka
tersebut belum mampu mencapai kriteria yang ditentukan kampus Sherlyn, skor toefl minimal yang harus ditempuh oleh
setiap mahasiswa yakni 500. Walaupun statusnya saat ini masih mahasiswa baru
yang duduk disemester satu dan mencoba mengerjakan satu kali soal toefl, namun harapannya lolos tahun ini
begitu besar. Apalagi pengumuman toefl
telah dinantikannya sejak lama. Sebelumnya Sherlyn sempat meminta doa restu
kepada Mama dan Papanya untuk mendoakannya agar mampu lulus tahun ini, namun
takdir Tuhan belum memperbolehkannya untuk lolos. Marah? Frustasi? Merasa
bodoh? Ya, semua perasaan campur aduk itu Sherlyn rasakan menjadi satu ketika
pengumuman skor toefl keluar angka 483
di depan layar monitor laptop miliknya. Padahal Sherlyn sudah optimis sejak
awal jika mampu lolos toefl tersebut
dengan meraih skor minimal 500. Rasanya kemarin saat mengerjakan pun tidak ada
kendala sama sekali. Tangannya pun dengan mahir mengeklik tombol pilihan ganda
yang telah disediakan.
Merasa
paling bodoh dan payah, sebab ia tak mampu lolos dibandingkan teman kamar
sebelahnya. Dalam hatinya Sherlyn mengumpat habis dirinya sendiri, mencaci
memaki dirinya, merasa dirinyalah orang yang paling bodoh. Moodnya seketika hancur, namun ia tak tahu harus berbuat apa. Menghubungi
orang rumah tentang hal itu pun tak akan merubah keadaan. Hasilnya akan tetap
sama, bahwa skor toeflnya dinyatakan BELUM LOLOS. Mengerutuki dirinya sendiri
dalam keheningan malam itu adalah satu-satunya hal yang dapat ia lakukan
sebagai pelampiasan kekesalan batinnya. Sherlyn pun merebahkan badannya dengan
menyimpan penuh amarah di hati dan kegundahan di otaknya. Sembari meletakkan
tubuhnya sejenak, ia melirik kalender yang tertempel rapi di tembok kamarnya.
Matanya tertuju ke angka 14 sebab terdapat lingkaran pulpen warna merah
mengelilingi angka tersebut. Sherlyn membelalakkan matanya.
“14 September?” Lagi lagi Sherlyn dibuat
sontak oleh keadaan.
Sherlyn
baru teringat bahwa hari ini merupakan hari ulang tahunnya. 14 September 2016,
hari yang paling menyebalkan dalam catatan sejarah Sherlyn. Ia dibuat kesal
karena hari ini tidak ada sekelumit ucapan selamat ulang tahun untuk dirinya.
Ditahun-tahun sebelumnya, ulang tahun Sherlyn tidak pernah terlewat untuk
dirayakan. Teman SD, SMP, SMA, bahkan keluarga pun tidak pernah lalai untuk
memberikan surprise kepadanya. Namun
diulang tahunnya yang ke-19 ini tidak ada seseorang pun yang mengingatnya,
bahkan dirinya sendiri pun tidak ingat sebab terlalu sibuk dengan tugas
kuliahnya yang menumpuk layaknya kjokkenmoddinger berserakan. Sherlyn berusaha memahami keadaan, positif thingking bahwa teman-temannya
yang lain pun mungkin juga sedang sibuk, sama halnya dengan dirinya saat ini.
Tak lupa Sherlyn menjulurkan kedua tangannya untuk menangkup badannya sendiri
dan menepuk-nepuk pelan bahunya, meski dalam keadaan berbaring di kasur sembari
berdoa kepada Tuhan.
“Ya
Tuhan, aku berharap diusia 19 tahunku ini Kau mudahkan urusanku, mudahkan
kuliahku, kuatkan lagi bahuku, luaskan rezeki orang tuaku, berilah umur panjang
untukku dan kedua orang tuaku. Tuhan, dekatkan aku dengan segala hal-hal baik
dan jauhkan aku dari segala hal buruk dan marabahaya. Semoga saat aku sukses
kelak, mama dan papa masih selalu diberi kesehatan untuk menemaniku berproses,
Aamiin.”
Memanjatkan
segelintir doa kepada Tuhan sebagai bentuk self
reward untuk dirinya sendiri merupakan satu-satunya hal yang bisa ia
lakukan. Sherlyn pun tak dapat menahan air matanya yang mengalir tanpa aba-aba.
“Kling...Kling.”
Tiba tiba terdengar suara notifikasi WhatsApp dari ponsel Sherlyn. Diraihnya
ponsel yang berada bersebelahan di samping laptopnya. Dengan tampilan muka
kusut, rambut berantakan, dan pakaian kumal karena moodnya yang sedang tidak baik-baik saja, Sherlyn pun berusaha
untuk mengangkat tubuhnya yang baru saja berhasil ia letakkan di atas kasur
empuknya sebagai pelampiasan lelah hati dan otaknya. Sherlyn mencoba membuka lokscreen ponsel miliknya untuk melihat
notifikasi chat siapa yang masuk
malam-malam begini.
TUGAS MAKALAH KAJIAN SASTRA JANGAN
LUPA DIKUMPULKAN DI GOOGLE DRIVE. BAGI YANG MERASA BELUM UPLOAD IBU TUNGGU
SAMPAI PUKUL 00.00, SEGERA!!!
Lagi-lagi
Sherlyn pun dibuat tersontak kaget, sebab notifikasi chat WhatsApp yang masuk berasal dari grup salah satu mata
kuliahnya. Makalah yang ia buat sejak pukul 19.40 belum selesai, ternyata ia
baru sampai di BAB II Pembahasan. Sedangkan jam dinding yang tertempel di
dinding kamarnya telah menunjukkan pukul 23.20. Sherlyn segera melakukan apa
yang perlu ia buat saat itu, yakni menyelesaikan makalahnya sesegera mungkin
karena mengejar deadline yang sudah ditentukan dosen. Rasanya sangat mustahil
mampu menyelesaikan makalahnya dengan sisa waktu 40 menit saja. Namun, Sherlyn
tetap berusaha untuk menyelesaikan makalahnya meskipun terlewat deadline. Jarinya dengan mahir turut
membantunya. Entah mengapa jika sudah mepet deadline
seperti ini Sherlyn merasa otaknya malah semakin lancar. Setelah menyelesaikan
makalahnya, Sherlyn pun memejamkan matanya untuk memberi waktu tubuhnya
beristirahat karena kepenatannya sehari penuh ini.
05.00
Sherlyn pun terbangun dari tidurnya dan ia merasakan suatu kejanggalan. Mengapa
seluruh pakaiannya untuk kuliah nanti sudah tertata rapi? Nasi dengan lauk paha
ayam dan lalapan pun sudah tersedia di meja kecil ujung kamar kosnya. Hal itu
membuatnya bertanya-tanya. Tanpa disangka ternyata mama dan papanya lah yang
menyiapkan semua tersebut. Sherlyn menduga mungkin ini sebagian rencana dari kedua
orang tuanya untuk memberikan surprise kepadanya,
karena kemarin sempat lupa akan hari ulang tahunnya. Tidak seperti biasanya
yang bangun tidur dengan terburu-buru dan menyiapkan segala halnya seorang
diri. Sherlyn pun berangkat dari kos ke kampus diantar oleh Papa. Saat itu
Sherlyn ada kelas pukul 07.30. Jam di dinding masih menunjukkan pukul 07.03. Kelas pertama berada di lantai 3 yang menuntutnya
untuk memilih dua opsi yang menyebalkan, naik menggunakan tangga dengan
menguras tenaganya atau naik menggunakan
lift namun memakan waktu yang cukup sebab banyak mahasiswa lainnya yang
sedang antre juga. Namun, kedua hal tersebut tidak begitu berarti bagi Sherlyn,
sebab kelasnya mulai masih lama.
“Drtt..Drtt..Drtt,” bunyi telepon nyaring
menggema memenuhi ruang kamarnya. Sherlyn berusaha meraba-raba ponsel yang ia
taruh di meja setelah selesai mengerjakan makalah dengan setengah mata
terpejam. Berusaha jarinya membuka lokscreen
ponsel dan mengangkat telepon yang baru saja masuk.
“Halo,
siapa ya?” tanya Sherlyn sembari menguap panjang.
“Sayang,
papa sayang,” ucap mama Sherlyn sambil terbata-bata yang ternyata baru saja
menelponnya.
“Mama,
papa kenapa, Ma?” sontak Sherlyn langsung membelalakkan matanya.
“Papa
kecelakaan, ini Mama sama om Joni lagi di rumah sakit. Papamu kritis, Sayang.”
Jawab mama sambil menahan isak tangisnya yang tak terbendung.
Sejenak
Sherlyn berusaha mencerna setiap kata-kata mamanya, sekelumit kata yang mampu
membuat tangannya bergetar dan tak sengaja ponselnya telah terjatuh di atas
kasur. Tak mampu untuk berpikir panjang, dini hari itu juga Sherlyn mengemasi
barang secukupnya. Ia bergegas untuk pulang dan menemui papanya di rumah
sakit mengendarai motornya. Sepanjang
jalan ia lewati seorang diri, kendaraan tak begitu banyak yang melintas. Lampu
kemerlip di tepian jalan seolah tidak cukup mampu menerangi perjalanannya saat
itu. Hatinya tidak tenang, pikirannya kacau. Air matanya tak mampu ditampung
lagi oleh kelopak matanya yang sudah sembab. Masker yang ia pakai basah kuyup
dibanjiri air matanya yang mengalir bercucuran. Sesampainya di rumah sakit,
Sherlyn dan mama saling berpelukan dan menguatkan bahu satu sama lain. Adik
Sherlyn yang badannya lemas turut serta datang ke rumah sakit dengan duduk di
pangkuan mama. Mama pun berusaha menceritakan tragedi yang menyebabkan papanya
kecelakaan. Ternyata hal itu dipicu ketika tengah malam, papa Sherlyn hendak
membelikan obat demam ke apotik untuk adik Sherlyn. Papa sangat panik dan badannya
juga kurang fit, sebab lelah seharian suntuk bekerja. Seperti takdir yang tidak
pernah meleset dari sasarannya, tepat di pinggir jalan ada sebuah truk yang
sedang parkir. Motor papa menabrak bagian belakang mobil hingga terpental
tubuhnya jauh 4m dari truk, sungguh mengenaskan.
Komentar
Posting Komentar